Berikut ini adalah contoh Proposal Penelitian yang saya buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi yang berjudul: “WACANA RAMBUT GONDRONG DAN PRAKTIK
KEKUASAAN ORDE BARU”
“WACANA RAMBUT GONDRONG DAN PRAKTIK KEKUASAAN ORDE BARU”
PROPOSAL
METODE PENELITIAN KOMUNIKASI
“WACANA RAMBUT GONDRONG DAN PRAKTIK KEKUASAAN ORDE BARU”
DIAJUKAN
OLEH:
UJANG SAIFULLOH
140531100100
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan
karunianya saya dapat menyelesaikan proposal ini dengan tepat waktu. Ucapan
terima kasih saya haturkan kepada kedua orangtua saya yang selalu mendukung
setiap langkah saya, membantu baik dalam materi maupun doa yang tiada terkira
banyaknya. Saya sampaikan terima kasih juga kepada Dosen pengampu mata kuliah
Metode Penelitian Komunikasi yang telah menyampaikan cukup banyak materi
pembelajaran didalam kelas sehingga saya dapat menyusun proposal sejauh ini,
dan juga tidak lupa kepada-teman-teman seperjuangan saya ucapkan terima kasih
sebesar-besarnya. Tanpa mereka semua barangkali proposal ini tidak akan pernah
selesai tepat waktu. Sekali lagi saya sampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Bangkalan, April 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Sejarah
mencatat pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto begitu anti terhadap rambut
gondrong. Bahkan Soeharto pernah memerintahkan dibentuknya BAKORPERAGON (Badan
Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Antipati yang sedemikian besar
terhadap rambut gondrong ini kemudian menjadi kajian sejarah yang begitu
menarik. Praktik kekuasaan Orde baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an mencatat,
pernyataan Pangkopkamtib pada tanggal 1 Oktober 1973 dalam sebuah acara
perbincangan di TVRI, menyatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda
menjadi Onverschillig alias acuh tak acuh. Pernyataan ini
selanjutnya menjadi pembenaran atas tindakan anti rambut gondrong. Meski di
sisi lain, protes dari kalangan muda pun bermunculan. Seperti yang terjadi pada
tanggal 10 Oktober 1973 dan dilakukan oleh 11 orang delegasi Dewan Mahasiswa
Institut Teknologi Bandung (DM-ITB), dengan dipimpin Muslim Tampubolon sebagai
ketua perwakilan mahasiswa, mereka mendatangi DPR-RI di Jakarta untuk memprotes
pernyataan Pangkopkamtib tersebut.
Ada
dua jenis pengelompokan anak muda. Pertama yang bersikap apatis terhadap persoalan
politik, dan kedua yang memiliki kesadaran tiinggi terhadap persoalan bangsa.
atau yang disebut seba gai kelompok mahasiswa. Sementara dua kelompok anak muda
ini, berada dalam lingkungan yang menurut penelitian Saya Shiraishi (Aria Wiratma
Yudhistira, 2010) “bapak”, “ibu” dan “anak” serta Soeharto sebagai “Bapak
Tertinggi” (Supreme Father). Dengan demikian orang tua memiliki kedudukan
dominan dikarenakan pengalaman hidupnya menuntut penghormatan dari anak-anaknya
dengan menempatkan Soerharto sebagai ‘bapak Orde Baru’ maka tertutuplah
kesempatan bahwa revolusi di Indonesia dipegang oleh generasi muda, seperti
yang telah terjadi sebelumnya.
Sementara,
pada saat Orde Baru mulai membangun pondasinya di era 1960-an, di Amerika Utara
dan Eropa berkembang budaya tandingan yang dimotori oleh anak-anak muda.
Kemunculan Hippie sebagai sebuah gagasan tentang cara pandang alternatif atau
berbeda dengan kehidupan yang dominan berlaku pada saat itu. Kaum hippies ini
menjadi mudah dikenali karena secara kasat mata dapat dilihat dari
penampilannya yang eksentrik: rambut panjang, jenggot yang dibiarkan tak
dicukur, pakaian longgar aneka warna (psikedelik), sandal, kalung, gelang dan
perempuannya tidak memakai bra Ketika pengaruh hippies ini masuk ke Indonesia
dengan gaya hidup bohemian, menjadi persoalan karena dianggap mengganggu ketentraman
umum oleh pemerintah.
Tuduhan dekadensi
moral terhadap gaya hidup generasi muda pada saat itu, juga tidak lepas dari
pencitraan yang dibangun oleh media massa. Lewat judul-judul pemberitaan yang
mendeskreditkan rambut gondrong seperti yang dimuat di harian Pos Kota
pada Oktober 1973: ”7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, “Waktu
Mabuk Di Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”. Juga yang
muncul di harian lain seperti Angkatan Bersenjata pada tahun yang sama: “5
Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”. Citra buruk diterakan pada rambut
gondrong sehingga identik dengan kriminal dan pelaku kejahatan. upaya
mengkriminalisasikan rambut gondrong menjadi salah satu cara Orde Baru pada
saat itu mengontrol gejolak dan ketidakpuasan generasi muda terhadap
kekuasaan pada saat itu.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
·
Seperti apa wacana rambut gondrong oleh
pemerintah orde baru?
·
Sejauh apa keterlibatan pemerintah
terhadap wacana rambut gondrong?
·
Adakah keterkaitan antara wacana rambut
gondrong dengan praktik kekuasaan Orde baru?
·
Sejauh apa keterlibatan media massa
terhadap citra rambut gondrong?
·
Bagaimana reaksi perlawanan anak muda
terhadap wacana rambut gondrong oleh pemerintah orde baru?
·
Bagaimana pengaruh wacana rambut
gondrong terhadap Persepsi atau cara pandang masyarakat awam?
·
Setelah orde baru hingga pasca reformasi,
seperti apa persepsi atau cara pandang masyarakat awam terhadap orang-orang
dengan rambut gondrong?
1.3 Tujuan
penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian referensi, sekaligus untuk merubah
paradigma tentang rambut gondrong yang telah lama distigamakan buruk lewat
sebuah wacana rambut gondrong oleh pemerintahan orde baru. Penelitian ini juga
ingin memaparkan perlawanan anak-anak muda terhadap hegemoni kekuasaan orde
baru.
1.4 Manfaat
Penelitian
Adapun
dari penelitian ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat
penelitian secara teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pembanding dalam sejarah konvensional mengingat isu seperti ini sangat jarang
diangkat padahal sebenarnya bisa berdampak besar terhadap arah sejarah
nasional.
b. Manfaat penelitian secara praktik
Secara pratiknya, penelitian ini diharapkan mampu
merubah paradigma lama yang terlanjur mengakar didalam masyarakat tentang
wacana rambut gondrong yang selalu distigmakan negatif, sekaligus dapat
menyingkap keterkaitannya dengan praktik kelanggengan kekuasaan orde baru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kerangka Teori
Teori
yang mendukung untuk penyusunan penelitian ini adalah teori Hegemoni dari
Antonio Gramci (1891-1937). Melalui konsep Hegemoni Gramsci, kekuasaan agar
dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama,
adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat
memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang
bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya
dilakukan oleh pranata Negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum,
militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang
mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang
berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga
keluarga. (Heryanto, 1997).
2.2
Kerangka konsep
Kerangka
konsep yang peneliti buat adalah mengenai konsep wacana publik terkait
penertiban rambur gondrong oleh pemerintah pada masa orde baru yang melibatkan
lembaga Negara seperti hukum dan militer, sekaligus didukung oleh keterlibatan
media massa yang pada waktu itu menganut pers otoritarian yang menjurus kearah pelanggengan politik kekuasaan orde baru.
Gambaran kerangka konsep:
2.3
Penelitian Sejenis Terdahulu
Fenomena
ini pernah terlebih dahulu diteliti oleh Aria Wiratma Yudhistira, mahasiswa
Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Jurusan Sejarah, lewat
sebuah skripsi dengan judul: “Rambut
gondrong sebuah potret kekuasaan terhadap anak muda 1967-1974”. Aria
Wiratma Yudhistira lewat skripsinya tersebut memakai norma-norma budaya jawa
untuk menjelaskan jalinan kekuasaan di Indonesia, khususnya kekuasaan orde baru
oleh Soeharto. Dimana pemerintahan orde baru diibaratkan layaknya sebuah
keluarga, dengan Soeharto sebagai ‘bapaknya’. Fenomena demikian masih relevan
hingga zekarang, sehingga masih layak untuk dikaji lebih lanjut.
2.4 Kerangka Berpikir
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif yang sekaligus membandingkan dengan
penelitian terdahulu dengan permasalahan yang sama, yakni terkait dengan wacana
penertiban rambut gondrong.
Penelitian
ini mencoba untuk mengurai sejauh apa keterlibatan pemerintah terkait wacana
rambut gondrong (yang hingga sekarang masih dipermasalahkan) bersama
lembaga-lembaga seperti hukum, militer, dan sekaligus media massa yang pada
waktu itu menganut pers otoriter.
Penelitian ini menggunakan teori Hegemoni dari
Antonio Gramci, karena melihat permasalahan ini dekat dengan praktik kekuasaan,
lebih tepatnya praktik dalam melanggengkan kekuasaan, yang dalam hal ini adalah
kekuasaan orde baru dari Soeharto.
Melalui
konsep hegemoni Gramsci, kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan
paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang
mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain
kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant.
Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata Negara (state)
melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua,
adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata
untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan,
kesenian dan bahkan juga keluarga.
(Heryanto, 1997).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Model
metode penelitian yang digunakan adalah jenis metode penelitian kualitatif
dengan menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap permasalahan
yang sedang dikaji. Metode ini digunakan karena kajian membutuhkan teknis
analisis yang mendalam atau in-depth analysis. Selain itu, penelitian ini juga
menggunakan metode historis karena berkaitan dengan fenomena masa lalu.
Tujuannya adalah untuk merekontruksi masa lalu secara sistematis dan objektif.
3.2 Jenis Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah jenis metode penelitian kualitatif dengan
jenis penelitian fenomenologi yang mencoba menjelaskan atau
mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran
yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi
yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena
yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua
penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan
ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan
wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat
dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk
mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden.
3.3 Jenis Data dan Sumber Data
Data
pada penelitian ini diambil dari pengumpulan beberapa sumber baik buku maupun internet sekaligus membandingkan
dengan penelitian yang dan terdahulu. Adapun untuk memperkuat penelitian ini
juga dilakukan wawancara dengan beberapa orang atau lembaga yang terlibat.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan
beberapa sumber data (historia) terkait wacana rambut gondrong dari buku dan
internet sekaligus membandingkan dengan hasil penelitian yang sama terdahulu.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik
Analisis Data selama dilapangan menurut Miles dan Huberman (1984, dalam
Moleong, 2005) ada 3 metode:
3.5.1
Reduksi data
Reduksi
data merujuk pada proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan
pentranformasian “data mentah” yang terjadi dalam catatan-catatan lapangan yang
tertulis. Sebagaimana kita ketahui reduksi data terjadi secara kontinu melalui
kehidupan suatu proyek yang diorientasikan secara kualitatif.
3.5.2
Penyajian data
Penyajian
data adalah suatu kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun. Seperti yang
disebutkan Emzir dengan melihat sebuah tayangan membantu kita memahami apa yang
terjadi dan melakukan sesuatu analisis lanjutan atau tindakan yang didasarkan
pada pemahaman tersebut.
3.5.3
Penarikan kesimpulan/Verifikasi kesimpulan.
Langkah
ketiga dari aktivitas analisis adalah penarikan dan verifikasi kesimpulan. Dari
permulaan pengumpulan data, peneliti kualitatif mulai memutuskan apakah makna
sesuatu, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin,
alur kausal, dan proporsi-proporsi. Peneliti yang kompeten dapat menangani
kesimpulan-kesimpulan ini secara jelas
3.6 Uji Keabsahan Data
Uji
Keabsahan Data Moleong (2005) Keabsahan data merupakan konsep penting yang
diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (realibilitas)
menurut versi positivisme dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan. Ada
beberapa metode untuk menguji keabsahan data yaitu:
3.6.1
Reliabilitas
Menunjuk
pada ketaatasasan pengukuran dan ukuran yang digunakan. Pengetesan reliabilitas
biasanya dilakukan melalui replikasi sebagaimana yang dilakukan terhadap
pengukuran butir-butir ganjil genap, dengan tes-retes, atau dalam bentuk
pararel. Teknik ini harus betul-betuk dilakukan jika menginginkan alat
pengukuran yang benar-benar reliabel. Persoalan yang dihadapi biasanya tidak
mudah karena ancaman-ancaman seperti tindakan peneliti yang kurang hati-hati
dalam proses pengukuran, instrumen yang tidak sempurna, pengukuran yang
berlangsung tidak terlalu lama, berbagi macam kebingungan, dan faktor-faktor
lainnya (Moleong, 2005). Teknik untuk menguji keabsahan data yang dipilih
peneliti adalah triangulasi. Menurut Denzin (1978, dalam Moleong, 2005)
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain. Diluar data itu untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyelidik, dan teori. Triangulasi yang
peneliti pilih adalah triangulasi dengan sumber. Patton (1987, dalam Moleong,
2005) yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif.
3.6.2
Confirmability
Kriteria
kepastian berasal dari konsep objektifitas menurut non-kualitatif. Non-kualitatif
menetapkan objektifitas dari segi kesepakatan antar subjek. Disini pemastian
bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan dari beberapa
orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan
pengalaman seseorang itu subjektif sedangkan jika disepakati beberapa atau
banyak oran, barulah dapat dikatakan objektif. Jadi,
objektifitas-subjektifitasnya suatu hak bergantung pada orang seseorang
(Moleong, 2005).
Daftar pustaka
LIHAT JUGA PROPOSAL TERKAIT:
contoh proposalnya bagus om. tentang penelitian wacana rambut
BalasHapus