Selasa, 25 Juli 2017

MAKALAH TENTANG BLATER DALAM KOMUNIKASI MASYARAKAT MADURA

MAKALAH
KOMUNIKASI MASYARAKAT MADURA
“BLATER”

 

DIAJUKAN OLEH:
UJANG SAIFULLOH

Ujang Saifulloh
140531100100

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2017
Didalam masyarakat Madura, Kekerasan dan religiusitas adalah dua hal yang melekat. Padahal keduanya sangat paradoks. Atau dengan kata lain mengandung makna yg berseberangan. Orang yg religius akan menolak segala bentuk kekerasan, karena hal tersebut berlawanan dengan ajaran agama. Sebaliknya, orang yang akrab dengan dunia kekerasan hidupnya jauh dari nilai-nilai religiusitas. Namun realitas sosial selalu menghadirkan kompleksitas masalah yang tidak selalu merujuk pada normatifitas teori yang bersifat literal. Kekerasan dan religiusitas dalam konteks kebudayaan tidaklah hadir dalam ruang hampa. Eksistensinya selalu beririsan dengan relasi kuasa dan kepentingan antar aktor di dalam struktur sosial masyarakat.
Bila melihat dari konteks dan motifnya, kekerasan cenderung beragam. Misalnya, tradisi carok di dalam masyarakat Madura sebagai upaya penyelesaian konflik dengan kekerasan. Orang Madura akan melakukan carok bila harga diri dan kehormatannya merasa terusik, diganggu atau dilukai. Jadi dalam peristiwa carok motif dan sasarannya sangat jelas, yakni individu yang sedang saling berselisih paham yang sulit didamaikan karena sudah menyangkut harga diri yang terluka. Orang Madura yang melakukan tindakan kekerasan, dalam bentuk carok untuk membela harga diri dan kehormatan, baik kerena dipicu oleh kasus-kasus di atas atau yang sejenisnya akan dinilai, dan dipandang memiliki keberanian sebagai seorang blater. Orang Madura yang mengambil jalan ‘toleran’, bukan tindakan carok ketika dihadapkan dengan kasus-kasus pembelaan harga diri seperti di atas akan dipandang oleh masyarakat Madura sebagai orang atau keluarga yang tidak memiliki jiwa keblateran.
Blater sendiri dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di masyarakat pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblateran sangat terkait pula dengan konstruksi jagoanisme di dalam masyarakat. Seperti cerita Sakera yang begitu melegenda di kalangan warga Madura. Sakera adalah jagoan keturunan Madura yang melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah Pasuruan. Daerah yang disebut dengan nama tapal kuda, berlokasi di bagian pulau Jawa di bagian timur yang penduduknya multi etnik, namun sebagian besar keturunan Madura. Kebanyakan di daerah tapal kuda ini, seperti Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo dan Banyuwangi, bahasa Madura dipergunakan secara populer sebagai bagian dari bahasa keseharian, disamping juga bahasa Jawa. Cerita tentang jagoan keturunan Madura ini terjadi di daerah Pasuruan. Sakera adalah sosok blater atau jagoan yang tidak mau tunduk terhadap penjajah Belanda. Sakera memiliki ilmu bela diri dan ilmu kebal. Peluru pasukan Belanda tidak mampu menempus tubuh Sakera dalam suatu pertempuran. Berkali-kali pasukan Belanda berupaya menumpas perlawanan Sakera, dan selalu gagal. Sampai akhirnya Belanda mengetahui kelemahan kekuatan ilmu kebal Sakera. Sakera di jebak oleh Belanda dalam suatu kegiatan kesenian rakyat yang bernama sandur. Sakera diperbolehkan menari, dengan syarata melepas seluruh jimat yang dimilikinya. Usai jimat dilepas, dalam suasana ia sedang menari dengan perempuan pasukan Belanda menyergapnya dan peluru pun ditembakkan ke tubuhnya. Sakera terkapar dan meninggal saat itu juga. Cerita ini menjadi legenda hidup di kalangan masyarakat Madura hingga saat ini. Masyarakat Madura sangat senang dan bangga bila mendengar atau diceritakan ulang berkenaan dengan kisah Sakera ini. Ada rasa kebanggaan atas sosok keblateran dan jiwa kepahlawanannya. Meskipun cerita itu mengandung bahu kekerasan akan makna perlawanan. 
Blater adalah sosok orang kuat di Madura, baik secara fisik maupun magis dan biasanya dikenal memiliki ilmu kebal, pencak silat atau ilmu bela diri. Seorang jago/blater dapat dengan mudah mengumpulkan pengikut, anak buah dengan jumlah yang cukup besar. Meskipun besaran jumlah pengikutnya sangat tergantung atas kedigdayaan ilmu (kekerasan) yang dikuasainya. Sosok jago atau blater yang sudah malang melintang di dunia kekerasan, dan namanya sudah sangat tersohor karena ilmu kesaktianya akan menambah kharisma dan kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang.
Bila dilihat dari asal usul sosial dengan mengacu pada sistem ekologis Madura, kemunculan komunitas blater terkait pula dengan ekosistem tegalan dengan area tanah pertanian yang tandus, gersang dan tidak produktif bagi sistem pertanian sawah. Kondisi ini diperparah pula oleh adanya curah hujan yang sangat terbatas membuat para petani Madura menghasilkan produk pertanian yang serba terbatas. Kondisi ini secara langsung menciptakan kondisi kemelaratan dan kemiskinan di kalangan warga desa. Lahan pertanian yang tidak memberikan keuntungan ekonomis disertai peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dari tahun ke tahun menciptakan problem ekonomis yang cukup akut. Kondisi ini tak jarang membuat orang Madura mengambil pilihan untuk migrasi sebagai solusi yang dianggap strategis guna memperbaiki masa depannya. Sekalipun pada kenyataannya migrasi bukan pula jalan satu-satunya dalam perbaikan nasib atau cara untuk dapat bertahan hidupCara lain yang oleh sebagian anggota masyarakat dipandang sebagai cara atau jalan “hitam” adalah dengan menjadi bandit atau blater.
Perilaku perbanditan, disertai dengan kekerasan bahkan pembunuhan, pencurian, perampokan dan pembakaran di Madura mulai marak saat kekuasaan kolonialisme Belanda merambah kawasan ini. Negara kolonial tentu sangat risau dengan perangai dan perilaku orang Madura ini karena dapat menguncang stabilitas keamanan dan perdagangan. Guna mengatasi perbanditan di pedesaan ini, Belanda jarang sekali menggunakan pendekatan hukum–proses pengadilan—tetapi yang paling dominan yang dilakukan di Madura adalah dengan cara kekerasan dan pola berkolaborasi terselubung dengan para bandit itu sendiri. Menangkap bandit dengan bandit, begitulah cara yang paling sering digunakan. Selain cara ini dianggap lebih efisien juga karena negara kolonial tidak cukup mampu menkooptasi seluruh kekuatan masyarakat sampai ke akar-akarnya di pedesaan. Pola dan cara itu dianggap efektif dilakukan, disebabkan pula tidak adanya niatan dari pihak kolonialis untuk membangun institusionalisasi negara yang berorientasi pada stabilisasi keamanan untuk kemakmuran masyarakat lokal. Dalam konteks ini, kekuasaan kolonialis juga ditegakkan melalui jasa para bandit, blater sebagai sosok jagoan desa. 
Banyak kasus menunjukkan di dalam masyarakat, yakni seseorang yang sebelumnya dipandang bukan sebagai golongan blater, disebut sebagai blater oleh warga lainnya karena berani melakukan carok. Apalagi menang dalam adu kekerasan carok itu. Jadi penyebutan masyarakat atas sosok blater dalam hal ini sangat erat kaitanya dengan keberanian melakukan carok dalam menghadapi konflik dan permasalahan di dalam lingkungan masyarakat. Di sini carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status sosial seseorang sebagai seorang blater. Jadi identitas keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan punya nyali menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik harga diri. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena untuk melegitimasi status seseorang menjadi blater.
Dinamika yang berlangsung menciptakan kultur dan komunitas tersendiri di dalam masyarakat Madura. Tak heran bila seseorang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai seorang blater eksistensinya memiliki posisi sosial tertentu di dalam masyarakat Madura. Sosok blater selalu disegani dan dihormati secara sosial. Sangat jarang sekali ditemukan seseorang yang sudah dikategorikan sebagai blater dipandang rendah secara sosial. 
Dari sudut pandang sosial, blater dapat muncul dari strata dan kelompok sosial manapun di dalam masyarakat Madura. Baik itu di dalam lingkungan dengan latar belakang sosial keagamaan yang ketat, seperti santri misalnya, atau dari lingkungan sosial blater sendiri. Bagi masyarakat Madura sendiri bukanlah sesuatu yang aneh bila seorang blater pandai mengaji dan membaca kitab kuning karena dalam tradisi masyarakat Madura, pendidikan agama diajarkan secara kuat melalui suarau, masjid, atau lembaga pesantren yang bertebaran di hampir setiap kampung dan desa. Konteks ini pula yang membuat blater dengan latar belakang santri memiliki jaringan kultural dan tradisi menghormati sosok kiai. 
Peran agama, dalam hal ini islam, begitu sentral dalam dinamika kehidupan masyarakat Madura. Berbagai ritus sosial selalu dikaitkan dengan spirit keagamaan dengan kiai sebagai aktor utama. Dinamika sosial tersebut membuat agama memiliki akar dalam struktur sosial dan kultural masyarakat sehingga mengalami proses penyatuan identitas. Dalam proses inilah agama islam menjadi bagian dari martabat dan harga diri orang Madura. Ketika agama sudah menjadi bagian dari harga diri dan martabat itulah maka adanya gangguan atau sesuatu yang berbau melecehkan agama, disepandankan dengan melecehkan harga diri dan identitas kemaduraan. Dengan demikian, adanya gangguan atau pelecehan atas nama agama dapat menimbulkan resistensi. Proses kultural ini dipersepsikan sebagai bentuk dari religiusitas kemaduraan.
Dinamika kultur kekerasan dan religiusitas di dalam masyarakat Madura sama-sama memiliki aktor utama, yakni blater dan kiai. Keduanya dapat dipandang sebagai rezim kembar yang memiliki kekuatan dalam mereproduksi wacana, kultur, tradisi dan jejaring kuasa di tengah masyarakat. Blater dengan legitimasinya sebagai pengendali dan pengelola mesin-mesin kekerasan kerapkali menghegemoni masyarakat. Begitu pula dengan kiai, dengan kapasitas dan kemampuannya dalam menafsirkan wacana agama mampu menghegemoni struktur terdalam di ruang batin, pikiran dan perilaku masyarakat. Media-media keagamaan yang bertebaran di Madura dengan sendirinya membuat kiai semakin signifikan dalam dinamika masyarakat Madura. Kedua aktor ini dalam praktek sosialnya, terkadang saling berseberangan paham dan visi. Namun dalam konteks tertentu tak jarang pula saling menjalin relasi kultural, ekonomi dan politik kuasa.. 
Bertemunya realitas sosio-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara yang saling mengakomodasi unsur-unsur premanisme membuat entitas blater memiliki elasitas, kelenturan sehingga dapat hadir di berbagai posisi kultural dan struktural. Pengalaman di masa Orde Baru ketika praktek banditisme begitu marak di Madura pada tahun 1980, pemerintah pusat mengelar operasi bagi kaum blater atau bajingan yang dikenal dengan sebutan petrus (penembak misterius). Operasi petrus ini merupakan kebijakan pemerintah Soeharto yang begitu resah dengan makin meningkatnya kriminalitas di Ibu kota dan kota-kota besar, termasuk di tingkat pedesaan. Guna mengurangi kejahatan sosial di tanah air. Di kabupaten Bangkalan, tokoh blater juga menjadi sasaran petrus. Namun demikian, bukan berarti kebijakan petrus ini dengan sendirinya membuat kekuasaan negara ini membersihkan secara total para aktor perbanditan dan jaringan kriminalitas di tengah masyarakat, sebab tidak lama setelah itu, khususnya ketika kekuasaan lagi-lagi membutuhkan keterlibatan blater, preman untuk pemeliharaan kekuasaannnya, elemen blater digunakan kembali sebagai mitra. Terutama setiap menjelang pemilu, di saat rezim Orde Baru ingin memperbaharui legitimasi kekuasaannya. 
Jaringan kerjasama terselubung antara blater dengan aparat keamanan sudah menjadi pemandangan umum di Madura. Jalinan ini terbentuk karena terdapat proses yang saling memberikan keuntungan bagi keduanya, baik secara politik dan ekonomi. Pemerintah dapat meminjam ‘tangan’ blater untuk merepresi warga untuk mendukung partai pemerintah tanpa perlu susah payah. Bagi blater sendiri koneksi dengan pemerintah membuatnya merasa terlindungi dari mesin-mesin hukum, terutama dalam hal menjalankan bagian dari profesinya yang bersentuhan dengan aksi kriminalitas. Pola hubungan blater dengan aparat kepolisian, khususnya tidak hanya berlangsung pada saat pemilu semata. Hubungan itu berlanjut pasca pemilu terkait dengan transaksi ekonomi politik kasus-kasus kriminalitas. Misalnya adanya peranan blater sebagai broker kasus melalui praktek suap bila seseorang ingin bebas dari jerat hukum ketika melakukan carok atau kasus kriminalitas lainnya. Pola kerjasama demikian bahkan di era Reformasi pun masih berlangsung, meskipun secara terselubung. 
Era Reformasi makin menunjukkan perluasan arena politik blater, dari ranah kultural ke struktural. Dari tingkatan politik pedesaan pada politik perkotaan. Peristiwa politik di Kabupaten Bangkalan makin menegaskan akan hal itu. Setelah sebelum ini jabatan bupati selalu dikuasai oleh kalangan tentara atau lingkungan birokrasi maka pasca Reformasi figur blater dapat mengambil alih kekuasaan lokal itu. Figur atau sosok Fuad memang berasal dari lingkungan keluarga santri. Kakeknya adalah kiai terpandang di Bangkalan bahkan Madura, dan keluarganya banyak yang mendirikan pesantren serta memiliki pengaruh di masyarakat, parpol dan birokrasi pemerintahan. Namun secara sosial ia dibesarkan di dalam tradisi dan komunitas blater. Posisi ini membuatnya memiliki pengaruh di dua komunitas, blater dan kiai. Ketika Fuad terpilih sebagai bupati melalui pemilihan di tingkat parlemen lokal, warga masyarakat menyebutnya sebagai kiai blater terpilih sebagai bupati. 
Dalam kasus pemilihan bupati secara langsung oleh rakyat di kabupaten Sumenep dimenangkan oleh Ramdan Siraj, yang berasal dari asal usul sosial dari lingkungan kiai. Keberhasilannya dalam kompetisi Pilihan Bupati (Pilbub) adanya dukungan blater juga tidak dapat dinafikan. Di Sumenep sebagian besar para kepala desa atau Klebun juga memiliki kultur blater. Posisi sebagai klebun sangat strategis di masyarakat karena dianggap figur yang dituakan, selain kiai. Di daerah Sumenep, para blater—mereka lebih menyebutnya sebagai kelompok bajingan— membuat perkumpulan yang diberi nama ‘Selendang Hitam’. Nama perkumpulan ini dipakai karena umumnya mereka menggunakan fashion selendang atau ikat kepala atau odeng dalam bahasa Maduranya. Sedangkan kata hitam merujuk pada perilaku atau profesinya yang dianggap berdekatan dengan dunia kriminalitas. 
Pola perkembangan blater atau bajingan berjaringan melalui organisasi atau perkumpulan makin menandai betapa strategisnya peran politik blater di era Reformasi. Bila mengamati kehidupan ekonomi politik komunitas blater sebelum Reformasi umumnya berada di sekitar sektor informal. Profesi ekonomi yang digelutinya adalah menjalani praktek bisnis uang bunga (rentenir), jasa keamanan dan kekerasan, pencurian, perjudian. Ada pula yang berprofesi sebagai pedagang yang baik, bukannya dengan jalan banditisme, semisal dengan menjalani perdagangan produk lokal, seperti jual beli ternak sapi, perkayuan dan sejenisnya. Kalau toh mereka berkiprah di panggung politik formal, hanya sebatas menduduki jabatan sebagai kepala desa, istilah Maduranya klebun. Desa-desa di Madura kebanyakan dikuasai oleh para blater. Penguasaan atas politik lokal desa menunjukkan bahwasannya blater memiliki akar sosial dan jaringan serta pengaruh di kalangan warga. Dalam konteks rezim otoritarian Orde Baru memang sulit bagi jaringan blater ini berkembang pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti politik-kuasa di tingkat kabupaten. Namun era Reformasi, dimana keterbukaan dan kompetisi politik relatif lebih menjamin bagi mereka yang memiliki dukungan di tingkatan warga masyarakat, politik blater memungkinkan untuk berkembang ke politik formal pada tingkatan kabupaten bahkan sampai tingkat yang lebih puncak lagi. 

Dinamika politik di tingkat desa dan juga di tingkat kabupaten, energinya berada di tangan dua komunitas, yakni blater dan kiai. Kalau kedua komunitas ini memiliki concern terhadap perbaikan kualitas layanan publik masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lainnya dalam tata kuasa pemerintahan maka pelaksanaan otonomi dan desentralisasi politik di Madura akan mendulang masa depan yang mengembirakan. Namun, bila kedua komunitas ini tidak memiliki concern atas perubahan dan perbaikan maka masyarakat Madura akan menghadapi masa-masa suram, justru di tengah era desentralisasi yang menjadi dambaan banyak pihak yang begitu lelah dengan sentralisasi di era Orde Baru. Memang ada komunitas lain di luar kedua maisntreams itu, yakni kalangan akademisi. Namun perannya masih belum signifikan dalam mempengaruhi politik kuasa di Madura.


Lihat juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar