Rabu, 26 Juli 2017

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN: WACANA RAMBUT GONDRONG DAN PRAKTIK KEKUASAAN ORDE BARU


Berikut ini adalah contoh Proposal Penelitian yang saya buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi yang berjudul: “WACANA RAMBUT GONDRONG DAN PRAKTIK KEKUASAAN ORDE BARU”

PROPOSAL
METODE PENELITIAN KOMUNIKASI

 “WACANA RAMBUT GONDRONG DAN PRAKTIK KEKUASAAN ORDE BARU”


DIAJUKAN OLEH:
UJANG SAIFULLOH
140531100100

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianya saya dapat menyelesaikan proposal ini dengan tepat waktu. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada kedua orangtua saya yang selalu mendukung setiap langkah saya, membantu baik dalam materi maupun doa yang tiada terkira banyaknya. Saya sampaikan terima kasih juga kepada Dosen pengampu mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi yang telah menyampaikan cukup banyak materi pembelajaran didalam kelas sehingga saya dapat menyusun proposal sejauh ini, dan juga tidak lupa kepada-teman-teman seperjuangan saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Tanpa mereka semua barangkali proposal ini tidak akan pernah selesai tepat waktu. Sekali lagi saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.




Bangkalan, April 2017
Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Sejarah mencatat pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto begitu anti terhadap rambut gondrong. Bahkan Soeharto pernah memerintahkan dibentuknya BAKORPERAGON (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong).  Antipati yang sedemikian besar terhadap rambut gondrong ini kemudian menjadi kajian sejarah yang begitu menarik. Praktik kekuasaan Orde baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an mencatat, pernyataan Pangkopkamtib pada tanggal 1 Oktober 1973 dalam sebuah acara perbincangan di TVRI, menyatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi Onverschillig alias acuh tak acuh. Pernyataan ini selanjutnya menjadi pembenaran atas tindakan anti rambut gondrong. Meski di sisi lain, protes dari kalangan muda pun bermunculan. Seperti yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1973 dan dilakukan oleh 11 orang delegasi Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (DM-ITB), dengan dipimpin Muslim Tampubolon sebagai ketua perwakilan mahasiswa, mereka mendatangi DPR-RI di Jakarta untuk memprotes pernyataan Pangkopkamtib tersebut.

Ada dua jenis pengelompokan anak muda. Pertama yang bersikap apatis terhadap persoalan politik, dan kedua yang memiliki kesadaran tiinggi terhadap persoalan bangsa. atau yang disebut seba gai kelompok mahasiswa. Sementara dua kelompok anak muda ini, berada dalam lingkungan yang menurut penelitian Saya Shiraishi (Aria Wiratma Yudhistira, 2010) “bapak”, “ibu” dan “anak” serta Soeharto sebagai “Bapak Tertinggi” (Supreme Father). Dengan demikian orang tua memiliki kedudukan dominan dikarenakan pengalaman hidupnya menuntut penghormatan dari anak-anaknya dengan menempatkan Soerharto sebagai ‘bapak Orde Baru’ maka tertutuplah kesempatan bahwa revolusi di Indonesia dipegang oleh generasi muda, seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Sementara, pada saat Orde Baru mulai membangun pondasinya di era 1960-an, di Amerika Utara dan Eropa berkembang budaya tandingan yang dimotori oleh anak-anak muda. Kemunculan Hippie sebagai sebuah gagasan tentang cara pandang alternatif atau berbeda dengan kehidupan yang dominan berlaku pada saat itu. Kaum hippies ini menjadi mudah dikenali karena secara kasat mata dapat dilihat dari penampilannya yang eksentrik: rambut panjang, jenggot yang dibiarkan tak dicukur, pakaian longgar aneka warna (psikedelik), sandal, kalung, gelang dan perempuannya tidak memakai bra Ketika pengaruh hippies ini masuk ke Indonesia dengan gaya hidup bohemian, menjadi persoalan karena dianggap mengganggu ketentraman umum oleh pemerintah.
Tuduhan dekadensi moral terhadap gaya hidup generasi muda pada saat itu, juga tidak lepas dari pencitraan yang dibangun oleh media massa. Lewat judul-judul pemberitaan yang mendeskreditkan rambut gondrong seperti yang dimuat di harian Pos Kota pada  Oktober 1973: ”7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, “Waktu Mabuk Di Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”. Juga yang muncul di harian lain seperti Angkatan Bersenjata pada tahun yang sama: “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”. Citra buruk diterakan pada rambut gondrong sehingga identik dengan kriminal dan pelaku kejahatan. upaya mengkriminalisasikan rambut gondrong menjadi salah satu cara Orde Baru pada saat itu mengontrol gejolak dan ketidakpuasan  generasi muda terhadap kekuasaan pada saat itu.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
·         Seperti apa wacana rambut gondrong oleh pemerintah orde baru?
·         Sejauh apa keterlibatan pemerintah terhadap wacana rambut gondrong?
·         Adakah keterkaitan antara wacana rambut gondrong dengan praktik kekuasaan Orde baru?
·         Sejauh apa keterlibatan media massa terhadap citra rambut gondrong?
·         Bagaimana reaksi perlawanan anak muda terhadap wacana rambut gondrong oleh pemerintah orde baru?
·         Bagaimana pengaruh wacana rambut gondrong terhadap Persepsi atau cara pandang masyarakat awam?
·         Setelah orde baru hingga pasca reformasi, seperti apa persepsi atau cara pandang masyarakat awam terhadap orang-orang dengan rambut gondrong?

1.3  Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian referensi, sekaligus untuk merubah paradigma tentang rambut gondrong yang telah lama distigamakan buruk lewat sebuah wacana rambut gondrong oleh pemerintahan orde baru. Penelitian ini juga ingin memaparkan perlawanan anak-anak muda terhadap hegemoni kekuasaan orde baru.

1.4  Manfaat Penelitian
Adapun dari penelitian ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:
a.       Manfaat penelitian secara teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembanding dalam sejarah konvensional mengingat isu seperti ini sangat jarang diangkat padahal sebenarnya bisa berdampak besar terhadap arah sejarah nasional.

b.      Manfaat  penelitian secara praktik
Secara pratiknya, penelitian ini diharapkan mampu merubah paradigma lama yang terlanjur mengakar didalam masyarakat tentang wacana rambut gondrong yang selalu distigmakan negatif, sekaligus dapat menyingkap keterkaitannya dengan praktik kelanggengan kekuasaan orde baru.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Kerangka Teori
Teori yang mendukung untuk penyusunan penelitian ini adalah teori Hegemoni dari Antonio Gramci (1891-1937). Melalui konsep Hegemoni Gramsci, kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata Negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.  (Heryanto, 1997).


2.2  Kerangka konsep
Kerangka konsep yang peneliti buat adalah mengenai konsep wacana publik terkait penertiban rambur gondrong oleh pemerintah pada masa orde baru yang melibatkan lembaga Negara seperti hukum dan militer, sekaligus didukung oleh keterlibatan media massa yang pada waktu itu menganut pers otoritarian yang menjurus kearah pelanggengan  politik kekuasaan orde baru.


Gambaran kerangka konsep:



2.3  Penelitian Sejenis Terdahulu
Fenomena ini pernah terlebih dahulu diteliti oleh Aria Wiratma Yudhistira, mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Jurusan Sejarah, lewat sebuah skripsi dengan judul: “Rambut gondrong sebuah potret kekuasaan terhadap anak muda 1967-1974”. Aria Wiratma Yudhistira lewat skripsinya tersebut memakai norma-norma budaya jawa untuk menjelaskan jalinan kekuasaan di Indonesia, khususnya kekuasaan orde baru oleh Soeharto. Dimana pemerintahan orde baru diibaratkan layaknya sebuah keluarga, dengan Soeharto sebagai ‘bapaknya’. Fenomena demikian masih relevan hingga zekarang, sehingga masih layak untuk dikaji lebih lanjut.


2.4       Kerangka Berpikir
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang sekaligus membandingkan dengan penelitian terdahulu dengan permasalahan yang sama, yakni terkait dengan wacana penertiban rambut gondrong.
Penelitian ini mencoba untuk mengurai sejauh apa keterlibatan pemerintah terkait wacana rambut gondrong (yang hingga sekarang masih dipermasalahkan) bersama lembaga-lembaga seperti hukum, militer, dan sekaligus media massa yang pada waktu itu menganut pers otoriter.

Penelitian ini menggunakan teori Hegemoni dari Antonio Gramci, karena melihat permasalahan ini dekat dengan praktik kekuasaan, lebih tepatnya praktik dalam melanggengkan kekuasaan, yang dalam hal ini adalah kekuasaan orde baru dari Soeharto.
Melalui konsep hegemoni Gramsci, kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata Negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.  (Heryanto, 1997).







BAB III
METODE PENELITIAN

3.1       Metode Penelitian
Model metode penelitian yang digunakan adalah jenis metode penelitian kualitatif dengan menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap permasalahan yang sedang dikaji. Metode ini digunakan karena kajian membutuhkan teknis analisis yang mendalam atau in-depth analysis. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode historis karena berkaitan dengan fenomena masa lalu. Tujuannya adalah untuk merekontruksi masa lalu secara sistematis dan objektif.

3.2       Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi yang mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden.


3.3       Jenis Data dan Sumber Data
Data pada penelitian ini diambil dari pengumpulan beberapa sumber  baik buku maupun internet sekaligus membandingkan dengan penelitian yang dan terdahulu. Adapun untuk memperkuat penelitian ini juga dilakukan wawancara dengan beberapa orang atau lembaga yang terlibat.

3.4       Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan beberapa sumber data (historia) terkait wacana rambut gondrong dari buku dan internet sekaligus membandingkan dengan hasil penelitian yang sama terdahulu.

3.5       Teknik Analisis Data
Teknik Analisis Data selama dilapangan menurut Miles dan Huberman (1984, dalam Moleong, 2005) ada 3 metode:
3.5.1 Reduksi data
Reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan pentranformasian “data mentah” yang terjadi dalam catatan-catatan lapangan yang tertulis. Sebagaimana kita ketahui reduksi data terjadi secara kontinu melalui kehidupan suatu proyek yang diorientasikan secara kualitatif.
3.5.2 Penyajian data
Penyajian data adalah suatu kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun. Seperti yang disebutkan Emzir dengan melihat sebuah tayangan membantu kita memahami apa yang terjadi dan melakukan sesuatu analisis lanjutan atau tindakan yang didasarkan pada pemahaman tersebut.
3.5.3 Penarikan kesimpulan/Verifikasi kesimpulan.
Langkah ketiga dari aktivitas analisis adalah penarikan dan verifikasi kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, peneliti kualitatif mulai memutuskan apakah makna sesuatu, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur kausal, dan proporsi-proporsi. Peneliti yang kompeten dapat menangani kesimpulan-kesimpulan ini secara jelas

3.6       Uji Keabsahan Data
Uji Keabsahan Data Moleong (2005) Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (realibilitas) menurut versi positivisme dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan. Ada beberapa metode untuk menguji keabsahan data yaitu:
3.6.1 Reliabilitas
Menunjuk pada ketaatasasan pengukuran dan ukuran yang digunakan. Pengetesan reliabilitas biasanya dilakukan melalui replikasi sebagaimana yang dilakukan terhadap pengukuran butir-butir ganjil genap, dengan tes-retes, atau dalam bentuk pararel. Teknik ini harus betul-betuk dilakukan jika menginginkan alat pengukuran yang benar-benar reliabel. Persoalan yang dihadapi biasanya tidak mudah karena ancaman-ancaman seperti tindakan peneliti yang kurang hati-hati dalam proses pengukuran, instrumen yang tidak sempurna, pengukuran yang berlangsung tidak terlalu lama, berbagi macam kebingungan, dan faktor-faktor lainnya (Moleong, 2005). Teknik untuk menguji keabsahan data yang dipilih peneliti adalah triangulasi. Menurut Denzin (1978, dalam Moleong, 2005) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyelidik, dan teori. Triangulasi yang peneliti pilih adalah triangulasi dengan sumber. Patton (1987, dalam Moleong, 2005) yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
3.6.2 Confirmability
Kriteria kepastian berasal dari konsep objektifitas menurut non-kualitatif. Non-kualitatif menetapkan objektifitas dari segi kesepakatan antar subjek. Disini pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan dari beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan pengalaman seseorang itu subjektif sedangkan jika disepakati beberapa atau banyak oran, barulah dapat dikatakan objektif. Jadi, objektifitas-subjektifitasnya suatu hak bergantung pada orang seseorang (Moleong, 2005).




Daftar pustaka
Moleong, 2005.
Aria Wiratma Yudhistira. 2010. Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Tangerang : Marjin Kiri.



LIHAT JUGA PROPOSAL TERKAIT:

1 komentar:

  1. contoh proposalnya bagus om. tentang penelitian wacana rambut

    BalasHapus